Cara Menyikapi Wartawan Profesional dan Gadungan
By Romeltea | Published: September 23, 2018
"Polres Madiun Tangkap Oknum Wartawan Peras Guru". Demikian diberitakan Antaranews.
Dikabarkan, Polres Madiun menangkap Suhartono (40), pria yang mengaku sebagai wartawan media cetak Metro Jatim, Selasa (28/8/2018), lantaran memeras seorang guru SDN Karangrejo, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun, Jawa Timur.
Menurut Wakapolres Madiun, Kompol Rentrix Riyaldi Yusuf, tersangka melakukan pemerasan dengan modus mengancam akan membuat pemberitaan yang buruk mengenai guru tersebut.
Berita di atas mengingatkan saya pada beberapa kali pelatihan di Tasikmalaya. Saya pernah mengisi pelatihan jurnalistik bertema "Jangan Takut Sama Wartawan" di depan puluhan guru. Pelatihan digelar karena maraknya pemerasan terhadap guru oleh oknum wartawan ata wartawan abal-abal.
Saya juga pernah mengisi pelatihan jurnalistik di depan ratusan kepala desa se-Kabupaten Tasikmalaya. Temanya sih pelatihan pembuatan media, namun tetap saja banyak pertanyaan seputar cara menghadapi wartawan.
Baca Juga: Cara Menghadapi Wartawan Gadungan
Etika profesi wartawan melarang jurnalis menerima dan meminta imbalan apa pun dalam bertugas. Wartawan dilarang menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadinya. Wartawan amplop jelas bukan wartawan profesional karena ia melanggar kode etik.
Saya jamin wartawan media besar seperti Republika, Kompas, Detikcom, Pikiran Rakyat, dan lainnya akan menaati kode etik demi kredibilitas pribadi dan medianya.
Wartawan profesional tidak akan memelas minta-minta (minta duit, minta ongkos, minta buat biaya cetak/operasional) dengan alasan, misalnya, gajinya kecil atau medianya kecil.
Wartawan pro juga tidak akan memeras seperti kasus di Madiun di atas karena bukan saja melanggar kode etik, tapi juga sudah memasuki wilayah hukum pidana (kriminal).
Jadi, sekarang ini ada wartawan profesional, wartawan pemelas, dan wartawan pemeras. Yang dua terakhir ini BUKAN WARTAWAN alias wartawan abal-abal, wartawan palsu, wartawan gadungan, yang sering juga disebut wartawan bodrex.
Menurut Wakapolres Madiun, Kompol Rentrix Riyaldi Yusuf, tersangka melakukan pemerasan dengan modus mengancam akan membuat pemberitaan yang buruk mengenai guru tersebut.
Berita di atas mengingatkan saya pada beberapa kali pelatihan di Tasikmalaya. Saya pernah mengisi pelatihan jurnalistik bertema "Jangan Takut Sama Wartawan" di depan puluhan guru. Pelatihan digelar karena maraknya pemerasan terhadap guru oleh oknum wartawan ata wartawan abal-abal.
Saya juga pernah mengisi pelatihan jurnalistik di depan ratusan kepala desa se-Kabupaten Tasikmalaya. Temanya sih pelatihan pembuatan media, namun tetap saja banyak pertanyaan seputar cara menghadapi wartawan.
Baca Juga: Cara Menghadapi Wartawan Gadungan
Jenis-Jenis Wartawan
Di pelatihan tersebut, juga banyak pelatihan jurnalistik lainnya, saya sering mengemukakan jenis-jenis wartawan dengan penekanan pada jenis wartawan profesional.Wartawan profesional adalah wartawan sesungguhnya alias wartawan beneran. Ia bekerja di sebuah media resmi (berbadan hukum), digaji sesuai UMK, dan menaati kode etik jurnalistik, menaati UU Pers, dan Pedoman Pemberitaan Media Siber.
Etika profesi wartawan melarang jurnalis menerima dan meminta imbalan apa pun dalam bertugas. Wartawan dilarang menyalahgunakan profesi untuk kepentingan pribadinya. Wartawan amplop jelas bukan wartawan profesional karena ia melanggar kode etik.
Saya jamin wartawan media besar seperti Republika, Kompas, Detikcom, Pikiran Rakyat, dan lainnya akan menaati kode etik demi kredibilitas pribadi dan medianya.
Wartawan profesional tidak akan memelas minta-minta (minta duit, minta ongkos, minta buat biaya cetak/operasional) dengan alasan, misalnya, gajinya kecil atau medianya kecil.
Wartawan pro juga tidak akan memeras seperti kasus di Madiun di atas karena bukan saja melanggar kode etik, tapi juga sudah memasuki wilayah hukum pidana (kriminal).
Jadi, sekarang ini ada wartawan profesional, wartawan pemelas, dan wartawan pemeras. Yang dua terakhir ini BUKAN WARTAWAN alias wartawan abal-abal, wartawan palsu, wartawan gadungan, yang sering juga disebut wartawan bodrex.
Cara Menghadapi Wartawan
Saya sarankan semua pihak membaca UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Saya juga imbau semua pihak membaca Kode Etik Jurnalistik.
Dengan pegangan kedua dokumen itu, Anda bisa tahu cara menghadapi wartawan, terutama wartawan pemelas dan wartawan pemeras yang sering dikeluhkan masyarakat.
Di berbagai forum pelatihan, jika ada pertanyaan soal cara menghadapi wartawan, saya bisanya mengemukakan ide sebagai berikut:
- Secara umum, perlakukan wartawan "jenis apa pun" layaknya tamu yang harus dihormati dan "jamu" dengan minimal kasih minum.
- Tanyakan identitas (ID Card) dan keperluannya datang ke tempat Anda. Siapkan dokumen atau informasi yang dibutuhkannya, misalnya konfirmasi atau cek dan ricek.
- Jika ragu, kontak redaksi medianya via telepon. Jika medianya "beneran", pasti akan ada jawaban.
- Wartawan profesional akan datang untuk wawancara atau liputan saja, tidak akan minta duit atau imbalan.
Menghadapi Wartawan Pemelas
Wartawan pemelas, yaitu wartawan yang minta ongkos atau minta duit, dipastikan ia wartawan abal-abal. Medianya mungkin juga media tidak resmi (tidak bebadan hukum). Mungkin juga tidak ada alamat redaksi atau kantornya.
Saya sering bilang, jika ada wartawan yang "mengemis" seperti itu, minta saja identitasnya, KTP-nya, lalu buatkan surat pengantar ke Lembaga Sosial atau Lembaga Zakat terdekat, agar ia diberi santunan atau sedekah dari uang Zakat, Infak, dan Sedekah (ZIS) umat.
Menghadapi Wartawan Pemeras
Menghadapi Wartawan Pemeras, lakukan langkah hukum seperti dilakukan guru SD di Madiun yang melaporkannya ke polisi.
Pemerasan adalah kriminal, tindak pidana. Jangan takut diberitakan buruk, karena Anda punya Hak Jawab yang dijamin UU Pers. Di KUHP juga ada pasal pencemaran nama baik.
Wartawan pemelas dan pemeras alias wartawan abal-abal biasanya datang hanya di acara tertentu. Wartawan model begini (pemelas/pemeras) tidak akan meliput aksi demo guru honorer, misalnya, atau acara-acara yang "tidak ada duitnya".
Biasanya, wartawan abal-abal (gadungan/bodrex) datang di acara seminar, pelantikan, atau bahkan teu hujan teu angin tiba-tiba saja datang ke sebuah kantor atau seorang narasumber. UUMD, Ujung-Ujungna Minta Duit!
Menurut kepala sekolah dan kepala desa yang pernah ikut pelatihan dengan saya, wartawan pemeras dan pemelas biasanya datang ke sekolah/desa jika ada dana bantuan cair (BOS/Bantuan Desa).
Untuk kasus ini, saya punya cerita bagus. Teman saya, sesama penyiar, yang ibunya kepala sekolah, pernah cerita. Ibunya ini didatangi wartawan abal-abal, minta "jatah" dana BOS.
Ibu Kepsek lantas bilang, silakan saja tanda tangan dan sebutkan untuk dana apa, karena penggunaan dana BOS harus transparan, siapa yang menggunakan dan untuk apa. Sang wartawan gadungan tadi pun mundur teratur.
Demikian sekadar berbagi tentang cara menyikapi wartawan. Intinya, wartawan jenis apa pun layani dengan baik.
Jika memelas, rekomendasikan ke lembaga sosial atau lembaga zakat agar diberi santunan. Jika memeras, jangan ragu melaporkannya ke pihak berwajib. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
wah cukup prihatin dan sangat disayangkan ada wartawan yg bahkan malah memeras narasumbernya. semoga ini bisa jadi pelajaran utk para wartawan taat aturan.
ReplyDeleteYang nulis ini seperti sambil mabuk jadi tulisannya cenderung diskriminatif dan menyakiti para wartawan
ReplyDeleteWkwkwk... yang baper kaya gini pasti wartawan gadungan dan abal-abal!
Delete