Bahasa Jurnalistik Terkontaminasi Bahasa Media Sosial
By Romeltea | Published: July 12, 2017
Bahasa Jurnalistik Terkontaminasi Bahasa Media Sosial dan Dirusak Jurnalime Umpan Klik.
BAHASA Jurnalistik adalah bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Ciri khasnya adalah ringkas atau hemat kata, sederhana atau mudah dipahami, dan lugas atau langsung ke pokok masalah (to the point).
Belakangan, pengertian dan prinsip bahasa jurnalistik itu tidak berlaku bagi sebagian wartawan, khususnya jurnalis media online.
Mereka sudah tidak peduli dengan pedoman bahasa jurnalistik dan lebih memilih gaya bahasa "gaul" ala pengguna media sosial.
Saya sudah berkali-kali membahas fenomena praktik penulisan berita di media online, terutama dalam hal penulis judul, dengan tag Jurnalisme Umpan Klik (Clickbait) --gaya jurnalisme kuning versi online. Silakan simak di link ini: Umpan Klik.
Media sosial sudah memengaruhi praktik jurnalistik. Mungkin, ilmu jurnalistik tidak lagi dibutuhkan oleh praktisi media atau setidaknya sudah tidak lagi jadi pedoman.
Wartawan media online terkesan "seenaknya" menulis berita, terutama judul, sing penting mah membuat penasaran pengguna internet (user) alias pembaca sehingga mereka klik link judul berita yang disebarkan di media sosial.
Simak saja judul-judul berita "lebay bin alay" berikut ini yang bergaya media sosial dan tidak lagi berasa jurnalisme:
Maka, maraklah fenomene jurnalisme atau judul umpan klik (clickbait journalism) yang merupakan bentuk terendah jurnalisme media sosial (lowest form of social media journalism). Simak: History of Clickbait.
Akibatnya, saat ini Bahasa Jurnalistik Terkontaminasi Bahasa Media Sosial. Bahasa Jurnalistik dikenal juga dengan istilah Bahasa Media, Bahasa Pers, dan Bahasa Suratkabar (Newspaper Language).
Dulu, kaidah bahasa jurnalistim dirusak oleh media-media yang masuk kategori Koran Kuning penganut Jurnalisme Kuning (Yellow Journalism) dan Jurnalisme Got (Gutter Journalism).
Bahasa Jurnalistik menjadi pedoman wartawan profesional. Ringkas dan Lugas yang menjadi ciri khas bahasa jurnalistik, yakni mengedepankan fakta terpenting di bagian awal (judul dan teras), kini tergerus kepentingan trafik atau pageviews.
Wartawan atau media online mengabaikan kaidah bahasa jurnalistik akibat persaingan ketat dan kepentingan ekonomi (jumlah klik/trafik). Trafik atau jumlah kunjungan di media online identik dengan pendapatan AdSense.
Media Sosial --utamanya Facebook, Twitter, Instagram, Youtube-- yang menjadi "raja internet" saat ini sudah membuat wartawan mengikuti irama atau arus netizen di media sosial. Judul berita pun sudah menjadi layaknya update status media sosial.
Saya tidak tahu, apakah ilmu jurnalistik, termasuk bahasa jurnalistik, masih diperlukan oleh wartawan? Apakah ilmu jurnalistik masih perlu masuk dalam kurikulum atau silabus Jurusan Ilmu Komunikasi? Bahkan, apakah Jurusan Jurnalistik masih diperlukan?
Sia-sia saja 'kan, capek-capek kuliah jurnalistik, pas di lapangan, saat jadi wartawan semua yang didapat di kelas ternyata tidak berlaku akibat fenomena jurnalisme umpan klik dan jurnalisme media sosial alias jurnalisme kuning versi baru.
Tapi, kata teman saya, belajar jurnalistik masih perlu, minimal jadi tahu mana jurnalistik yang baik dan mana jurnalistik yang tidak baik. Baiklah... !Wasalam. (www.romeltea.com).*
BAHASA Jurnalistik adalah bahasa yang digunakan wartawan dalam menulis berita. Ciri khasnya adalah ringkas atau hemat kata, sederhana atau mudah dipahami, dan lugas atau langsung ke pokok masalah (to the point).
Belakangan, pengertian dan prinsip bahasa jurnalistik itu tidak berlaku bagi sebagian wartawan, khususnya jurnalis media online.
Mereka sudah tidak peduli dengan pedoman bahasa jurnalistik dan lebih memilih gaya bahasa "gaul" ala pengguna media sosial.
Saya sudah berkali-kali membahas fenomena praktik penulisan berita di media online, terutama dalam hal penulis judul, dengan tag Jurnalisme Umpan Klik (Clickbait) --gaya jurnalisme kuning versi online. Silakan simak di link ini: Umpan Klik.
Media sosial sudah memengaruhi praktik jurnalistik. Mungkin, ilmu jurnalistik tidak lagi dibutuhkan oleh praktisi media atau setidaknya sudah tidak lagi jadi pedoman.
Wartawan media online terkesan "seenaknya" menulis berita, terutama judul, sing penting mah membuat penasaran pengguna internet (user) alias pembaca sehingga mereka klik link judul berita yang disebarkan di media sosial.
Simak saja judul-judul berita "lebay bin alay" berikut ini yang bergaya media sosial dan tidak lagi berasa jurnalisme:
- Wow, Ternyata Pulau Terdapat di Dunia Ada di Indonesia!
- Ternyata, Ini Akibatnya Jika Minim Kopi Setelah Minum Obat.
- Begini Jadinya Jika Wajah Mirip Lionel Messi.
- Brutal! Setelah Pergoki Pasangan Mesum Di Taman, Lihat yang Dua Pria Ini Lakukan
- Wanita Tua Rela Datang ke Rumah Sakit dan Sujud di Depan Pasien Pria Ini, Videonya Bikin Deg-degan
- Pasangan Remaja Ini Berenang Pakai Gaya Tak Biasa, Videonya Bikin Merem-Melek
- Inilah Bukti Kalau Jodoh di Tangan Tuhan, 3 Tahun Lalu Berpacaran, Endingnya Begini, Yang Sabar Bro
- BREAKING NEWS - Perdagangan Saham Pagi ini Ngadat. Ada Apa dengan BEI?
- Beraroma Busuk Menyengat, Ternyata Harga Batu Aneh Ini Bikin Kaya Mendadak
- Pelaku Pembacokan Ahli IT ITB Ditangkap, Ini Komentar Tetangga.
- Misbakhun Permasalahkan 17 Penyidik KPK, Ini Komentar Polri.
- Wayne Rooney Ke Everton, Ini Komentar Jose Mourinho
Maka, maraklah fenomene jurnalisme atau judul umpan klik (clickbait journalism) yang merupakan bentuk terendah jurnalisme media sosial (lowest form of social media journalism). Simak: History of Clickbait.
Akibatnya, saat ini Bahasa Jurnalistik Terkontaminasi Bahasa Media Sosial. Bahasa Jurnalistik dikenal juga dengan istilah Bahasa Media, Bahasa Pers, dan Bahasa Suratkabar (Newspaper Language).
Dulu, kaidah bahasa jurnalistim dirusak oleh media-media yang masuk kategori Koran Kuning penganut Jurnalisme Kuning (Yellow Journalism) dan Jurnalisme Got (Gutter Journalism).
Bukan hanya “doyan” memuat berita asusila, skandal, cabul, dan kriminalitas, koran kuning juga identik dengan judul-judul berita yang sensasional, bombastis, dan “dramatis”. Kadang isinya tidak sesuai dengan judul.
Bahasa Jurnalistik menjadi pedoman wartawan profesional. Ringkas dan Lugas yang menjadi ciri khas bahasa jurnalistik, yakni mengedepankan fakta terpenting di bagian awal (judul dan teras), kini tergerus kepentingan trafik atau pageviews.
Wartawan atau media online mengabaikan kaidah bahasa jurnalistik akibat persaingan ketat dan kepentingan ekonomi (jumlah klik/trafik). Trafik atau jumlah kunjungan di media online identik dengan pendapatan AdSense.
Media Sosial --utamanya Facebook, Twitter, Instagram, Youtube-- yang menjadi "raja internet" saat ini sudah membuat wartawan mengikuti irama atau arus netizen di media sosial. Judul berita pun sudah menjadi layaknya update status media sosial.
Saya tidak tahu, apakah ilmu jurnalistik, termasuk bahasa jurnalistik, masih diperlukan oleh wartawan? Apakah ilmu jurnalistik masih perlu masuk dalam kurikulum atau silabus Jurusan Ilmu Komunikasi? Bahkan, apakah Jurusan Jurnalistik masih diperlukan?
Sia-sia saja 'kan, capek-capek kuliah jurnalistik, pas di lapangan, saat jadi wartawan semua yang didapat di kelas ternyata tidak berlaku akibat fenomena jurnalisme umpan klik dan jurnalisme media sosial alias jurnalisme kuning versi baru.
Tapi, kata teman saya, belajar jurnalistik masih perlu, minimal jadi tahu mana jurnalistik yang baik dan mana jurnalistik yang tidak baik. Baiklah... !Wasalam. (www.romeltea.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Bahasa Jurnalistik Terkontaminasi Bahasa Media Sosial
Post a Comment