Tak Relevan Lagi, Dewan Pers Harus Diganti Dewan Media Nasional
By Romeltea | Published: February 6, 2017
DEWAN PERS harus dibubarkan dan diganti dengan lembaga fresh dan up to date semacam Dewan Media Nasional (DMN) yang meliputi semua jenis media, termasuk media baru --media online, media daring, atau situs berita.
Dewan Pers identik dengan media cetak (printed media) --suratkabar, majalah, dan tabloid. Dewan Pers juga tidak meliputi wilayah media elektronik atau media penyiaran (radio dan televisi) yang menjadi otoritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dewan Pers pun tidak punya otoritas di wilayah media online (media daring, situs berita) yang sudah diantur dalam UU ITE dan menjadi kewenangan Kemenkominfo.
Nah, sekarang media cetak sudah berguguran, makin banyak yang gulung karpet, eh gulung tikar. Makin jelas, Dewan Pers tidak relevan lagi.
"Ulah" Dewan Pers mengurusi media online, dengan melakukan verifikasi dan memberikan barcode, menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan.
Verifikasi media dituding merupakan pembredeilan gaya baru, mengusik kebebasan pers dan berpendapat, serta menunjukkan Dewan Pers menjadi "alat politik" untuk mengendalikan media massa di tanah air.
Verifikasi media merupakan "follow up" pemerintah dan Dewan Pers atas maraknya berita bohong (hoax). Dewan Pers sendiri mengaku, verifikasi merupakan salah satu upaya memerangi hoax.
'
Dengan demikian, media terverifikasi dikesankan tidak akan menyebarkan hoax. Sebaliknya,media yang tidak terverifikasi tidak layak dipercaya karena "terduga" sebagai hoax.
Dengan verifikasi media, Dewan Pers terkesan menggiring masyaakat agar "hanya" mempercayai berita dari media terverifikasi atau yang terdaftar di Dewan Pers.
Masalahnya, apakah media-media verified itu berimbang dalam pemberitaannya? Apakah media-media mainstream itu bukan media propaganda dan bukan corong rezim atau kekuatan politik tertentu?
Publik sudah tahu, media-media arus utama itu kebanyakan menjadi corong rezim, menjadi propagandis kekuatan politik tertentu, dan tidak berimbang dalam pemberitaan, terutama menyangkut isu Islam dan kaum Muslim.
Publik tidak bisa disuruh-suruh atau digiring tentang media yang menjadi sumber informasi terpercaya. Ini era internet, Bung! Ingat ada Manifesto Internet. Ini era keterbukaan informasi. Produksi dan distribusi informasi apa pun begitu mudah dilakukan.
Kembali ke soal Dewan Pers. Lembaga ini bisa dikatakan salah satu peninggalan Orde Baru, meski fungsinya berubah dari penasihat Menteri Penerangan menjadi lembaga independen. Dulu Ketua Dewan Pers itu Menteri Penerangan.
Ah, intina mah, Dewan Pers sudah tidak relevan lagi dengan zaman internet. Harus dibubarkan dan diganti dengan lembaga semacam Dewan Media Nasional atau apalah-apalah namanya.
Bahkan, keberadaan Dewan Media Nasional ini juga bisa sekaligus membubarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang "gak jelas kerjanya". Wilayah kekuasaan KPI, radio dan televisi, dimasukkan ke Dewan Media Nasional.
Ini mah sekadar "curhat dong mah" soal Dewan Pers dan konstelasi media massa saat ini di tanah air. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Dewan Pers identik dengan media cetak (printed media) --suratkabar, majalah, dan tabloid. Dewan Pers juga tidak meliputi wilayah media elektronik atau media penyiaran (radio dan televisi) yang menjadi otoritas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Dewan Pers pun tidak punya otoritas di wilayah media online (media daring, situs berita) yang sudah diantur dalam UU ITE dan menjadi kewenangan Kemenkominfo.
Nah, sekarang media cetak sudah berguguran, makin banyak yang gulung karpet, eh gulung tikar. Makin jelas, Dewan Pers tidak relevan lagi.
"Ulah" Dewan Pers mengurusi media online, dengan melakukan verifikasi dan memberikan barcode, menimbulkan kegaduhan dan kecurigaan.
Verifikasi media dituding merupakan pembredeilan gaya baru, mengusik kebebasan pers dan berpendapat, serta menunjukkan Dewan Pers menjadi "alat politik" untuk mengendalikan media massa di tanah air.
Verifikasi media merupakan "follow up" pemerintah dan Dewan Pers atas maraknya berita bohong (hoax). Dewan Pers sendiri mengaku, verifikasi merupakan salah satu upaya memerangi hoax.
'
Dengan demikian, media terverifikasi dikesankan tidak akan menyebarkan hoax. Sebaliknya,media yang tidak terverifikasi tidak layak dipercaya karena "terduga" sebagai hoax.
Dengan verifikasi media, Dewan Pers terkesan menggiring masyaakat agar "hanya" mempercayai berita dari media terverifikasi atau yang terdaftar di Dewan Pers.
Masalahnya, apakah media-media verified itu berimbang dalam pemberitaannya? Apakah media-media mainstream itu bukan media propaganda dan bukan corong rezim atau kekuatan politik tertentu?
Publik sudah tahu, media-media arus utama itu kebanyakan menjadi corong rezim, menjadi propagandis kekuatan politik tertentu, dan tidak berimbang dalam pemberitaan, terutama menyangkut isu Islam dan kaum Muslim.
Publik tidak bisa disuruh-suruh atau digiring tentang media yang menjadi sumber informasi terpercaya. Ini era internet, Bung! Ingat ada Manifesto Internet. Ini era keterbukaan informasi. Produksi dan distribusi informasi apa pun begitu mudah dilakukan.
Kembali ke soal Dewan Pers. Lembaga ini bisa dikatakan salah satu peninggalan Orde Baru, meski fungsinya berubah dari penasihat Menteri Penerangan menjadi lembaga independen. Dulu Ketua Dewan Pers itu Menteri Penerangan.
Ah, intina mah, Dewan Pers sudah tidak relevan lagi dengan zaman internet. Harus dibubarkan dan diganti dengan lembaga semacam Dewan Media Nasional atau apalah-apalah namanya.
Bahkan, keberadaan Dewan Media Nasional ini juga bisa sekaligus membubarkan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang "gak jelas kerjanya". Wilayah kekuasaan KPI, radio dan televisi, dimasukkan ke Dewan Media Nasional.
Ini mah sekadar "curhat dong mah" soal Dewan Pers dan konstelasi media massa saat ini di tanah air. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
No comments on Tak Relevan Lagi, Dewan Pers Harus Diganti Dewan Media Nasional
Post a Comment