Hoax Menggejala Karena Berita Media Mainstream Tidak Berimbang
By Romeltea | Published: January 9, 2017
HOAX sedang jadi "trending". Pemerintah dan Dewan Pers sedang memerangi hoax a.l. dengan menekan media nonpers yang disebut sebagai media abal-abal.
Dewan Pers bahkan akan memasang barcode bagi media yang terdaftar di Dewan Pers untuk membedakannya dengan media nonpers.
Namun, Dewan Pers juga mestinya sadar, muncul dan menggejalanya hoax dan media abal-abal dikarenakan media-media pers atau media mainstream hampir semuanya TIDAK BERIMBANG dalam pemberitaan, khususnya menyangkut isi Islam dan kaum Muslim.
Sulit sekali menemukan media pers yang tidak partisan saat ini. Grup Kompas, Grup Media, Grup Merdeka, dan kelompok media lainnya sangat jelas berpihak untuk membela kelompok tertentu (pencitraan) dan tidak berimbang. Media-media ini sering melakukan framing dalam pemberitaan.
Akibat media mainstream mengabaikan asas balance atau covering both side dalam pemberitaan, sehingga merugikan kelompok tertentu, maka bukan saja mereka kehilangan TRUST dari publik, tapi juga publik melakukan perlawanan.
Media-media mainstream seperti Kompas, Tribunnews, Merdeka, Metrotvnews, dan kawan-kawannya tidak melaksanakan Watchdog Journalism atau fungsi pengawasna sosial (social control). Akibatnya, fungsi ini dilakukan media nonpers atau media-media yang disebut "abal-abal" oleh Dewan Pers.
Fakta, di era rezim sekarang, media-media mainstream tidak perpihak kepada publik, mengabaikan elemen jurnalisme "first loyality to the ciziten". Akibatnya, muncul dan berkembang Jurnalisme Militan dan Pers Bawah Tanah (Underground Pers).
"Pers bawah tanah adalah opsi lain untuk mempublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional," tulis William L. Rivers dkk. dalam Media Massa dan Masyarakat Modern (2003). Rivers menyebutnya “jurnalisme militan”.
Media Perlawanan
Banyak kelompok masyarakat yang tidak diakomodasi media mainstream. Kalaupun diberitakan, hanya yang jelek-jelek atau negatif. Itulah sebabnya, kelompok ini membuat media sendiri dan melakukan perlawanan dan pembelaan.
Simak saja kasus "duel satu lawan satu" yang berubah di media mainstream menjadi "pengeroyokan". Simak berita-berita media mainstream yang oleh Dewan Pers disebut "media pers". Apakah ada covering both side atau berimbang (balance) sebagaimana diamantkan kode etik jurnalistik? No!
Simak kasus tenaga asing China yang masuk ke Indonesia. Adakah media mainstrem dulu memberitakannya? Tidak! Ketika media-media nonpers yang disebut "abal-abal" gencar memberitakannya, barulah media arus utama berani memberitakan, namun dalam perspektif rezim!
Kesimpulan, hoax menggejala karena berita media mainstream tidaka berimbang. Jurnalisme militan dan pers bawah tanah merjalela karena media-media besar tidak memenuhi rasa ingin tahu publik tentang kasus-kasus sensitif atau ketidakberesan di pemerintahan yang mestinya diangkat media arus utama sebagai pelaksanaan watchdog journalism.
Dewan Pers mestinya menertibkan juga media-media arus utama yang tidak menaati kode etik jurnalistik, khsusunya dalam hal balance & covering both side. Dewan Pers harus konsisten dan fair dalam penerapan "kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi".
Barcode yang dipasang Dewan Pers di media-media arus utama atau media pers yang diakui Dewan Pers, tidak akan ampuh membendung hoax. Publik sudah kian cerdas!
Media sosial dan blog merupakan kekuatan baru era internet yang sulit dibendung. Jika ditekan, blogger dan aktivis media sosial akan melawan.
Hoax Indikator Legitimasi Pemerintah Melemah
Simak pula pendapat Rocky Gerung dari Universitas Indonesia . Ia menilai reaksi pemerintah menghadapi informasi palsu malah tidak sama sekali menyentuh akar masalah.
Hoax dalam pandangannya adalah sebuah gejala: bahwa ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tidak sanggup dikedalikan oleh pemerintah.
"Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tidak akan sebar berita palsu. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengekspoitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal 'hoax' adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang harusnya diperbaiki," katanya dikutip BBC Indonesia.
Ditegaskan, melawan hoax dengan mengontrol informasi memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. "Dan itu buruk, bahwa negara menjadi penjamin kebenaran."
Mengapa? Karena secara teoritis, Rocky Gerung melihat pemerintah di banyak negara doyan melakukan rekayasa informasi untuk menjaga legitimasinya. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Dewan Pers bahkan akan memasang barcode bagi media yang terdaftar di Dewan Pers untuk membedakannya dengan media nonpers.
Namun, Dewan Pers juga mestinya sadar, muncul dan menggejalanya hoax dan media abal-abal dikarenakan media-media pers atau media mainstream hampir semuanya TIDAK BERIMBANG dalam pemberitaan, khususnya menyangkut isi Islam dan kaum Muslim.
Sulit sekali menemukan media pers yang tidak partisan saat ini. Grup Kompas, Grup Media, Grup Merdeka, dan kelompok media lainnya sangat jelas berpihak untuk membela kelompok tertentu (pencitraan) dan tidak berimbang. Media-media ini sering melakukan framing dalam pemberitaan.
Akibat media mainstream mengabaikan asas balance atau covering both side dalam pemberitaan, sehingga merugikan kelompok tertentu, maka bukan saja mereka kehilangan TRUST dari publik, tapi juga publik melakukan perlawanan.
Bermunculanlah hoax dan media-media nonpers, berupa situs-situs yang dibuat dengan mudah dengan platform blogger dan WordPress atau Joomla. Publik yang haus berita berimbang, setidaknya mencari SECOND OPINION, pun tergiring untuk membuka situs-situs nonmedia atau media online nonpers itu.
Media-media mainstream seperti Kompas, Tribunnews, Merdeka, Metrotvnews, dan kawan-kawannya tidak melaksanakan Watchdog Journalism atau fungsi pengawasna sosial (social control). Akibatnya, fungsi ini dilakukan media nonpers atau media-media yang disebut "abal-abal" oleh Dewan Pers.
Fakta, di era rezim sekarang, media-media mainstream tidak perpihak kepada publik, mengabaikan elemen jurnalisme "first loyality to the ciziten". Akibatnya, muncul dan berkembang Jurnalisme Militan dan Pers Bawah Tanah (Underground Pers).
"Pers bawah tanah adalah opsi lain untuk mempublikasikan berita atau gagasan yang tidak dipublikasikan media konvensional," tulis William L. Rivers dkk. dalam Media Massa dan Masyarakat Modern (2003). Rivers menyebutnya “jurnalisme militan”.
Media Perlawanan
Banyak kelompok masyarakat yang tidak diakomodasi media mainstream. Kalaupun diberitakan, hanya yang jelek-jelek atau negatif. Itulah sebabnya, kelompok ini membuat media sendiri dan melakukan perlawanan dan pembelaan.
Simak saja kasus "duel satu lawan satu" yang berubah di media mainstream menjadi "pengeroyokan". Simak berita-berita media mainstream yang oleh Dewan Pers disebut "media pers". Apakah ada covering both side atau berimbang (balance) sebagaimana diamantkan kode etik jurnalistik? No!
Simak kasus tenaga asing China yang masuk ke Indonesia. Adakah media mainstrem dulu memberitakannya? Tidak! Ketika media-media nonpers yang disebut "abal-abal" gencar memberitakannya, barulah media arus utama berani memberitakan, namun dalam perspektif rezim!
Kesimpulan, hoax menggejala karena berita media mainstream tidaka berimbang. Jurnalisme militan dan pers bawah tanah merjalela karena media-media besar tidak memenuhi rasa ingin tahu publik tentang kasus-kasus sensitif atau ketidakberesan di pemerintahan yang mestinya diangkat media arus utama sebagai pelaksanaan watchdog journalism.
Sekali lagi, penyebab menggejalanya hoax dan media nonpers tidak lain karena media-media arus utama tidak fair, tidak berimbang, alias berpihak pada rezim. Hoax dan media nonpers muncul sebagai bentuk perlawanan sekaligus mengimbangi pemberitaan tidak fair media arus utama.
Dewan Pers mestinya menertibkan juga media-media arus utama yang tidak menaati kode etik jurnalistik, khsusunya dalam hal balance & covering both side. Dewan Pers harus konsisten dan fair dalam penerapan "kaidah jurnalistik yang harus dipenuhi".
Barcode yang dipasang Dewan Pers di media-media arus utama atau media pers yang diakui Dewan Pers, tidak akan ampuh membendung hoax. Publik sudah kian cerdas!
Media sosial dan blog merupakan kekuatan baru era internet yang sulit dibendung. Jika ditekan, blogger dan aktivis media sosial akan melawan.
Hoax Indikator Legitimasi Pemerintah Melemah
Simak pula pendapat Rocky Gerung dari Universitas Indonesia . Ia menilai reaksi pemerintah menghadapi informasi palsu malah tidak sama sekali menyentuh akar masalah.
Hoax dalam pandangannya adalah sebuah gejala: bahwa ada sesuatu yang bergejolak dalam opini publik yang tidak sanggup dikedalikan oleh pemerintah.
"Kalau legitimasi pemerintah kuat, orang tidak akan sebar berita palsu. Tapi begitu legitimasi melemah, oposisi akan mengekspoitasi kerentanan itu dengan memproduksi hoax. Berarti sinyal 'hoax' adalah krisis legitimasi di otoritas. Itu yang harusnya diperbaiki," katanya dikutip BBC Indonesia.
Ditegaskan, melawan hoax dengan mengontrol informasi memberi kesan bahwa negara menjadi totaliter dalam urusan opini publik. "Dan itu buruk, bahwa negara menjadi penjamin kebenaran."
Mengapa? Karena secara teoritis, Rocky Gerung melihat pemerintah di banyak negara doyan melakukan rekayasa informasi untuk menjaga legitimasinya. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
like untuk artikelnya mas:) informasinya cukup passss
ReplyDeleteThanks, share juga ya.... :)
Delete