Media Sosial Indonesia Darurat Hoax dan Buzzer Politik, Waspadalah!
By Romeltea | Published: November 7, 2016
Jangan sembarang share info di internet. Indonesia Darurat HOAX dan Serangan Buzzer.
MEDIA Sosial Indonesia tengah darurat berita bohong (hoax) dan "penggalang opini publik" (buzzer).
"Hoax Lewat Jejaring Sosial Semakin Marak, Berhati-hatilah!" demikian laman Radio Australia mengingatkan pengguna media sosial dua tahun lalu.
Hoax dan buzzer di Indonesia mulai marak sejak kampanye Pemilu Presiden lalu dan kini Pilkada DKI Jakarta. Hoax dan buzzer kian berseliweran di internet sejak #AksiDamai411 Bela Islam berlangsung di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
Jika bukan tokoh yang dikenal kontroversial --dan mencari nafkah dengan sikap kontroversialnya (baca: dibayar), maka pemilik akun itu "GJ" alias Gak Jelas. Tak jarang, akun Twitter atau Facebooknya baru dibuat sejam-dua jam lalu, bahkan tanpa satu pun follower!
Jelas, buzzer kian menggila demi kepentingan politik. Politisi berdana besar akan mudah membentuk "pasukan buzzer" semacam "cyber army" untuk menggalang dan menggiring opini publik. Satu orang bisa pegang puluhan akun sosmed guna melancarkan "perang informasi".
Maka, jangan mudah terpengaruh! Jangan pula mudah "retweet" dan "share" ataupun komentar.
Pengertian Buzzer
Secara harfiyah, buzzer (baca: bəzər) adalah dengung, dengungan, terbang, memanggil dengan alat dengungan, mendengung, berdengungan, atau membicarakan desas-desus.
Buzzer dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai aparat dengungan, bel, lonceng listrik.
Dalam konteks media sosial atau informasi di internet, buzzer adalah influencer, yaitu seseorang yang berpengaruh atau berusaha mempengaruhi orang lain agar didengarkan opininya, dipercayai, dan membuat orang lain bereaksi setelahnya.
Sebuah laporan Reuters tentang buzzer di Indonesia menyebutkan, kalangan bisnis dan organisasi/kelompok sudah biasa menyewa twitter buzzer untuk memperkenalkan sebuah event atau pesan bagi masyarakat banyak.
"Di ibu kota Indonesia, Jakarta, buzzer bukan alarm atau bel, tapi pengguna Twitter dengan pengikut berjumlah 2.000 atau lebih yang dibayar untuk tweet," tulis Reuters.
Situs Propaganda
Bukan hanya hoax dan buzzer, belakangan ini juga bermunculan situs-situs web atau blog yang berfungsi sebagai media propaganda dan berpura-pura sebagai media jurnalistik.
"Mereka" yang punya duit banyak dengan mudah membuat situs web dan membayar pengelola, hanya untuk dijadikan media propaganda. Yang namanya propaganda, kebenaran dan akurasi informasi bukan acuan.
Waspadalah! Abaikan situs atau blog yang tidak jelas pemilik dan pengelolanya. Dalam istilah Dewan Pers, abaikan media abal-abal yang tidak berbadan hukum dan tidak jelas redaksi dan kantornya!
Baca Juga: Tiga Jenis Media: Profesional, Partisan, Abal-Abal
Cara termudah mengenali sebuah media itu bisa dipercaya atau tidak adalah mengenali siapa pengelola atau tim redaksinya.
Jika situs tersebut tidak mencantumkan tim redaksi dan alamat kantor, maka abaikan! Menurut kriteria Dewan Pers, itu situs abal-abal, minimal media partisan alias media propaganda.
Jika sebuah blog, maka harus jelas siapa bloggernya karena blog adalah situs pribadi (personal website) seperti romelteamedia.com ini.
Jika gak jelas, tutup, tinggalkan, dan jangan pernah kembali membukanya lagi, agar Anda selamat dari HOAX dan serangan BUZZER! Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
MEDIA Sosial Indonesia tengah darurat berita bohong (hoax) dan "penggalang opini publik" (buzzer).
"Hoax Lewat Jejaring Sosial Semakin Marak, Berhati-hatilah!" demikian laman Radio Australia mengingatkan pengguna media sosial dua tahun lalu.
Hoax dan buzzer di Indonesia mulai marak sejak kampanye Pemilu Presiden lalu dan kini Pilkada DKI Jakarta. Hoax dan buzzer kian berseliweran di internet sejak #AksiDamai411 Bela Islam berlangsung di Jakarta dan kota-kota lain di Indonesia.
Jika Anda punya waktu luang, silakan cek akun-akun Twitter yang suka "nimbrung" dalam sebuah hashtag populer dengan "cuitan" yang "nyleneh" dan "melawan arus".
Jika bukan tokoh yang dikenal kontroversial --dan mencari nafkah dengan sikap kontroversialnya (baca: dibayar), maka pemilik akun itu "GJ" alias Gak Jelas. Tak jarang, akun Twitter atau Facebooknya baru dibuat sejam-dua jam lalu, bahkan tanpa satu pun follower!
Jelas, buzzer kian menggila demi kepentingan politik. Politisi berdana besar akan mudah membentuk "pasukan buzzer" semacam "cyber army" untuk menggalang dan menggiring opini publik. Satu orang bisa pegang puluhan akun sosmed guna melancarkan "perang informasi".
Maka, jangan mudah terpengaruh! Jangan pula mudah "retweet" dan "share" ataupun komentar.
Pengertian Buzzer
Secara harfiyah, buzzer (baca: bəzər) adalah dengung, dengungan, terbang, memanggil dengan alat dengungan, mendengung, berdengungan, atau membicarakan desas-desus.
Buzzer dalam kamus bahasa Inggris diartikan sebagai aparat dengungan, bel, lonceng listrik.
Dalam konteks media sosial atau informasi di internet, buzzer adalah influencer, yaitu seseorang yang berpengaruh atau berusaha mempengaruhi orang lain agar didengarkan opininya, dipercayai, dan membuat orang lain bereaksi setelahnya.
Sebuah laporan Reuters tentang buzzer di Indonesia menyebutkan, kalangan bisnis dan organisasi/kelompok sudah biasa menyewa twitter buzzer untuk memperkenalkan sebuah event atau pesan bagi masyarakat banyak.
"Di ibu kota Indonesia, Jakarta, buzzer bukan alarm atau bel, tapi pengguna Twitter dengan pengikut berjumlah 2.000 atau lebih yang dibayar untuk tweet," tulis Reuters.
Situs Propaganda
Bukan hanya hoax dan buzzer, belakangan ini juga bermunculan situs-situs web atau blog yang berfungsi sebagai media propaganda dan berpura-pura sebagai media jurnalistik.
"Mereka" yang punya duit banyak dengan mudah membuat situs web dan membayar pengelola, hanya untuk dijadikan media propaganda. Yang namanya propaganda, kebenaran dan akurasi informasi bukan acuan.
Waspadalah! Abaikan situs atau blog yang tidak jelas pemilik dan pengelolanya. Dalam istilah Dewan Pers, abaikan media abal-abal yang tidak berbadan hukum dan tidak jelas redaksi dan kantornya!
Baca Juga: Tiga Jenis Media: Profesional, Partisan, Abal-Abal
Cara termudah mengenali sebuah media itu bisa dipercaya atau tidak adalah mengenali siapa pengelola atau tim redaksinya.
Jika situs tersebut tidak mencantumkan tim redaksi dan alamat kantor, maka abaikan! Menurut kriteria Dewan Pers, itu situs abal-abal, minimal media partisan alias media propaganda.
Cari link menu "About" (Tentang Kami) atau "Redaksi" di situs berita atau blog yang Anda buka. Ada nama-nama di sana? Ada badan hukumnya? Ada alamat kantornya?
Jika sebuah blog, maka harus jelas siapa bloggernya karena blog adalah situs pribadi (personal website) seperti romelteamedia.com ini.
Jika gak jelas, tutup, tinggalkan, dan jangan pernah kembali membukanya lagi, agar Anda selamat dari HOAX dan serangan BUZZER! Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
betul banget, bro...sekarang hoax merajalela
ReplyDelete