Penulisan Kata "Beliau" dalam Berita
By Romeltea | Published: May 17, 2015
SAYA sering mengedit berita kiriman reporter yang sedang belajar dan/atau mahasiswa jurnalistik. Salah satu kata yang sering saya hapus & ganti adalah kata "beliau".
Mungkin karena rasa hormatnya pada narasumber (new source) yang diberitakan, mereka menggunakan kata "beliau", bukan "ia" atau "dia".
Saya tidak menyalahkan penulisan kata "beliau" dalam berita. Saya sering persilakan mereka mencari kata "beliau" dalam berita di media-media ternama. Mereka tidak menemukannya.... karena memang kata "beliau" itu nyaris tak pernah ada dalam naskah berita wartawan profesional.
Kata "beliau" tidak lazim digunakan dalam penulisan berita, meski maksudnya baik: menunjukkan rasa hormat. Masalahnya, bahasa media atau bahasa jurnalistik itu "egaliter", memperlakukan narasumber sama-sederajat, sehingga wartawan pun lebih menggunakan kata "ia" atau "dia" --tanpa bermaksud "tidak sopan".
Kata "beliau" merupakan sebutan kehormatan; digunakan sebagai kata ganti orang ketiga yang dihormati.
Dalam pemberitaan di media-media Indonesia, kata "beliau" sangat langka ditemukan. Media kita lebih memilih kata "dia" atau "ia" untuk menyebutkan orang ketiga. Mengapa?
Kata gantinya pun sama: dia atau ia, bukan beliau. Sekali lagi, tanpa bermaksud tidak hormat atau tidak sopan serta tanpa bemaksud merendahkan.
Mungkin, bagi sebagian wartawan, ada perasaan “tidak enak” atau “merasa tidak sopan” kalo hanya menulis nama, misalnya aktivis Muhammadiyah ngerasa kurang “sreg” jika harus nulis:
Lalu, bagaimana jika wartawan "keukeuh" menggunakan kata "beliau" dalam berita? Tidak ada larangan, sebagaimana tidak ada anjuran. Sah sah saja, namun... tidak lazim dan tidak memenuhi kaidah bahasa jurnalistik. Juga tidak dosa dan bukan tindak pidana.
Sekali lagi, penulisan kata "beliau" di naskah berita hanya tidak lazim. Jika tetap dilakukan, bukan dosa dan bukan pidana, namun sang wartawan akan terkesan "belum profesional". Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Mungkin karena rasa hormatnya pada narasumber (new source) yang diberitakan, mereka menggunakan kata "beliau", bukan "ia" atau "dia".
Saya tidak menyalahkan penulisan kata "beliau" dalam berita. Saya sering persilakan mereka mencari kata "beliau" dalam berita di media-media ternama. Mereka tidak menemukannya.... karena memang kata "beliau" itu nyaris tak pernah ada dalam naskah berita wartawan profesional.
Kata "beliau" tidak lazim digunakan dalam penulisan berita, meski maksudnya baik: menunjukkan rasa hormat. Masalahnya, bahasa media atau bahasa jurnalistik itu "egaliter", memperlakukan narasumber sama-sederajat, sehingga wartawan pun lebih menggunakan kata "ia" atau "dia" --tanpa bermaksud "tidak sopan".
Arti Kata Beliau
Kata "beliau" adalah kata ganti orang ketiga, seperti halnya "dia" atau "ia". Menurut Kamus Bahasa, "beliau" artinya "orang yang dibicarakan (digunakan untuk menghormatinya)".Kata "beliau" merupakan sebutan kehormatan; digunakan sebagai kata ganti orang ketiga yang dihormati.
Dalam pemberitaan di media-media Indonesia, kata "beliau" sangat langka ditemukan. Media kita lebih memilih kata "dia" atau "ia" untuk menyebutkan orang ketiga. Mengapa?
Dua Alasan Tidak Menggunakan "Beliau" dalam Berita
Setidaknya ada dua alasan wartawan menghindari kata "beliau" dalam berita dan lebih memilih kata "dia" atau "ia".- Pemberitaan harus "netral", tidak ada keberpihakan (imparsial). Penggunaan kata "beliau" dalam berita dianggap sebagai sebuah bentuk keberpihakan, kelemahan, bahkan ketundukan sang wartawan atau media kepada narasumber.
- Dalam menulis berita, wartawan menggunakan bahasa jurnalistik. Salah satu karakteristik bahasa jurnalistik itu egaliter, yakni memperlakukan semua orang sama.
Kata gantinya pun sama: dia atau ia, bukan beliau. Sekali lagi, tanpa bermaksud tidak hormat atau tidak sopan serta tanpa bemaksud merendahkan.
Mungkin, bagi sebagian wartawan, ada perasaan “tidak enak” atau “merasa tidak sopan” kalo hanya menulis nama, misalnya aktivis Muhammadiyah ngerasa kurang “sreg” jika harus nulis:
- Menurut Din Syamsudin, Muhummadiyah harus…
- “Kita harus berani,” kata dia.
Bahasa jurnalistik “tidak mengenal” tingkatan, kasta, pangkat, atau seperti “undak-usuk basa” dalam bahasa Sunda atau Jawa.
Kapan Menggunakan Kata Beliau?
Kata "beliau" lazim digunakan sebagai kata ganti Nabi Muhammad Saw, Sahabat Nabi, dan Ulama Salafush Shalih:- Nabi Muhammad lahir di Mekkah. Beliau lahir dalam keadaan yatim.
- Abu Bakar merupakan sahabat Nabi Saw paling senior. Beliau pun disepakati menjadi khalifah pertama sepeninggal Nabi Saw.
- Imam Syafi'i hafal Al-Quran sejak kecil. Beliau berguru kepada banyak ulama.
Lalu, bagaimana jika wartawan "keukeuh" menggunakan kata "beliau" dalam berita? Tidak ada larangan, sebagaimana tidak ada anjuran. Sah sah saja, namun... tidak lazim dan tidak memenuhi kaidah bahasa jurnalistik. Juga tidak dosa dan bukan tindak pidana.
Sekali lagi, penulisan kata "beliau" di naskah berita hanya tidak lazim. Jika tetap dilakukan, bukan dosa dan bukan pidana, namun sang wartawan akan terkesan "belum profesional". Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Ya, setuju pendapat anda. Saya juga mantan editor media cetak.
ReplyDeleteSekadar info, ada koran yang menulis berita dengan: Bapak....., Ibu..... Beliau adalah....
Itulah koran yang ada di sinetron Indonesia yang kebetulan saya lihat beberapa waktu lalu. Sangat terlihat, penulis skenario dan sutradara kurang memahami bahasa, khususnya bahasa jurnalistik
Terima kasih sudah menulis artikel ini pak Romel.
ReplyDeleteKebetulan saya sedang mempertimbangkan untuk menggunakan kata 'beliau' dalam salah satu tulisan di blog saya, karena memang saya merasa tidak enak dan menghormati subjek yang dibicarakan.
Tulisan Anda menghapus keraguan saya.
Ada ungkapan: ragu-ragu, kembali! Artinya, jika ragu, jangan lakukan :)
DeleteBermanfaat
ReplyDelete