Jokowi Menang, Jurnalistik Kembalilah ke Khittahnya!
By Romeltea | Published: July 9, 2014
Jokowi Menang dalam Pilpres 9 Juli 2014. Setidaknya, itu versi hasil hitung cepat (quick count) mayoritas lembaga survei.
Dalam "pantauan saya", 5 lembaga survei menyatakan Jokowi-JK menang, 4 lembaga survei lain menyatakan Prabowo-Hatta yang menang. Ya sudah, anggap saja Jokowi menang tipis 5-4 atas Prabowo :)
Hasil resmi tunggu tanggal 22 Juli 2014, saat KPU mengumumkan hasil penghitungan resmi Pilpres 2014. Hasil hitung cepat hanyalah memenuhi rasa ingin tahu publik, yang "gak sabaran" pengen segera tahu hasil Pilpres. Bisa saja hasilnya beda dengan KPU, tapi biasanya sih gak jauh beda!
Semoga "badai" cepat berlalu. Cukup lama juga merasakan suasana panas media online, terutama media sosial. Tiba-tiba banyak relawan dan "pengamat", saling hujat dan saling ejek yang membikin Pilpres kali ini mengerikan!
Sebagai praktisi media dan jurnalistik, saya mengimbau kawan-kawan jurnalis dan praktisi media, kini saatnya kita kembali ke "khittah". Kembalikan jurnalistik dan media ke khittahnya, yaitu sebagai media informasi aktual, akurat, dan berimbang; sebagai media hiburan, mendidik publik, dan... social control!
Pers harus kritis, bukan membela kepentingan penguasa atau pengusaha. Pers yang membela kepentingan penguasa disebut "pers pemerintah" (government journalism). Pers yang membela kepentingan penguasa disebut "jurnalisme korporat" (corporate journalism).
Salah satu khittah pers, media, atau jurnalistik adalah "musuh alami" (natural enemy) penguasa. Pers harus menjadi pengawas dan pengeritik pemerintah dan ini dijamin UU No. 40 tentang Pers. (Fungsi pers a.l. kontrol sosial).
Selama Pilpres 2014, kita menyaksikan terjadi polarisasi media. Ada yang pro-Jokowi, ada yang pro-Prabowo, ada juga yang "berusaha" tidak berpihak ke salah satu capres. Nah, yang berusaha "tidak memihak" itu hakikatnya berusaha menjaga "khittah" jurnalistik.
Jurnalistik hanya berpihak pada kebenaran (truth). Dalam kamus jurnalistik, kebenaran adalah fakta dan fakta itu suci (fact is sacre), gak boleh ditambah, dikurangi, apalagi dimanipulasi. Sampaikan apa adanya. Jika tidak "tega", maka gak usah diberitakan saja, jika dampaknya "tidak terlalu besar".
Publik sulit menemukan kebenaran jika jurnalistik atau media sudah menjadi "alat kepentingan" penguasa atau pengusaha. Itulah sebabnya, Bill Kovach dalam The Element of Journalism menyatakan:
Media tampak "kehilangan kredibilitas" selama Pilpres 2014 karena polarisasi pro-Jokowi dan pro-Prabowo. Insan media harus membangun kembali kepercayaan publik itu.
Maka, Jokowi menang, jurnalistik.... kembalilah ke Khittahnya! Pers harus berani mengkritisi pemerintahan baru nanti. Itulah khittah jurnalistik sebagai mata, telinga, dan rasa rakyat. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Bandung, 9 Juli 2014
Ilustrasi: berita24.com
Dalam "pantauan saya", 5 lembaga survei menyatakan Jokowi-JK menang, 4 lembaga survei lain menyatakan Prabowo-Hatta yang menang. Ya sudah, anggap saja Jokowi menang tipis 5-4 atas Prabowo :)
Hasil resmi tunggu tanggal 22 Juli 2014, saat KPU mengumumkan hasil penghitungan resmi Pilpres 2014. Hasil hitung cepat hanyalah memenuhi rasa ingin tahu publik, yang "gak sabaran" pengen segera tahu hasil Pilpres. Bisa saja hasilnya beda dengan KPU, tapi biasanya sih gak jauh beda!
Semoga "badai" cepat berlalu. Cukup lama juga merasakan suasana panas media online, terutama media sosial. Tiba-tiba banyak relawan dan "pengamat", saling hujat dan saling ejek yang membikin Pilpres kali ini mengerikan!
Sebagai praktisi media dan jurnalistik, saya mengimbau kawan-kawan jurnalis dan praktisi media, kini saatnya kita kembali ke "khittah". Kembalikan jurnalistik dan media ke khittahnya, yaitu sebagai media informasi aktual, akurat, dan berimbang; sebagai media hiburan, mendidik publik, dan... social control!
Pengertian Khitah/Khittah. Khi·tah n 1 cita-cita: setiap warga negara berkewajiban mewujudkan -- perjuangan bangsa; 2 langkah; rencana; 3 tujuan dasar; garis haluan; landasan perjuangan; kebijakan. Kata khittah berasal dari akar kata khaththa, yang bermakna menulis dan merencanakan. Kata khiththah kemudian bermakna garis dan thariqah (jalan)”. (KBBI)
Pers harus kritis, bukan membela kepentingan penguasa atau pengusaha. Pers yang membela kepentingan penguasa disebut "pers pemerintah" (government journalism). Pers yang membela kepentingan penguasa disebut "jurnalisme korporat" (corporate journalism).
Salah satu khittah pers, media, atau jurnalistik adalah "musuh alami" (natural enemy) penguasa. Pers harus menjadi pengawas dan pengeritik pemerintah dan ini dijamin UU No. 40 tentang Pers. (Fungsi pers a.l. kontrol sosial).
Selama Pilpres 2014, kita menyaksikan terjadi polarisasi media. Ada yang pro-Jokowi, ada yang pro-Prabowo, ada juga yang "berusaha" tidak berpihak ke salah satu capres. Nah, yang berusaha "tidak memihak" itu hakikatnya berusaha menjaga "khittah" jurnalistik.
Jurnalistik hanya berpihak pada kebenaran (truth). Dalam kamus jurnalistik, kebenaran adalah fakta dan fakta itu suci (fact is sacre), gak boleh ditambah, dikurangi, apalagi dimanipulasi. Sampaikan apa adanya. Jika tidak "tega", maka gak usah diberitakan saja, jika dampaknya "tidak terlalu besar".
Publik sulit menemukan kebenaran jika jurnalistik atau media sudah menjadi "alat kepentingan" penguasa atau pengusaha. Itulah sebabnya, Bill Kovach dalam The Element of Journalism menyatakan:
- Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran
- Loyalitas utama jurnalisme adalah kepada warga (publik)
Media tampak "kehilangan kredibilitas" selama Pilpres 2014 karena polarisasi pro-Jokowi dan pro-Prabowo. Insan media harus membangun kembali kepercayaan publik itu.
Maka, Jokowi menang, jurnalistik.... kembalilah ke Khittahnya! Pers harus berani mengkritisi pemerintahan baru nanti. Itulah khittah jurnalistik sebagai mata, telinga, dan rasa rakyat. Wasalam. (www.romelteamedia.com).*
Bandung, 9 Juli 2014
Ilustrasi: berita24.com
Previous
« Prev Post
« Prev Post
Next
Next Post »
Next Post »
Like 20, Tweet 5, but NO COMMENT? Mari, budayakan komentar dan share pemikiran...!!!
ReplyDeleteYah begitulah... bagaimanapun media semestinya netral, pemilu untuk semua warga negara Indonesia ... dan bukan hanya untuk pendukung2 saja ....
ReplyDeleteSemua adalah tokoh terbaik bangsa ini.